Selasa, 27 Desember 2011

SARA


TUGAS PENGANTAR SOSIOOLOGI
Oleh:
Felisia Oktaviani (D0211042)

Semua orang pasti pernah mengalami konflik dalam hidupnya, karena tak ada orang yang hidup tanpa masalah. Begitu pula konflik yang pernah saya alami yang berhubungan dengan SARA karena saya lahir dari orang tua yang berbeda latar belakang suku dan budaya, ayah saya adalah keturunan Tiong Hoa sedangkan ibu saya adalah pribumi. Hal ini terkadang menimbulkan berbagai konflik didalam kehidupan saya. Seperti yang saya alami sekitar tahun 1998, saat itu umur saya masih 5 tahun. Saat saya hendak pulang dari gereja maka tiba-tiba ada seseorang  yang melempar batu kepada saya, orang itu menganggap bahwa saya adalah keturunan Tiong Hoa, sedangkan saat itu sedang terjadi kerusuhan yang melibatkan keturunan Tiong Hoa dengan kaum pribumi. Maka ibu saya segera berlari melindungi saya dan mengatakan bahwa saya  keturunan pribumi. Konflik ini dapat terselesaikan dengan menggunakan media yaitu ibu saya yang berperan sebagai pihak ketiga yang menjadi penasihat, hingga konflik tersebut dapat terselesaikan dengan cara mediasi. Konflik lain yang pernah saya alami adalah saat saya pindah ke Solo dan bergaul dengan anak-anak yang tinggal disekitar rumah. Saya sering diejek “cino”, padahal saya hanya ingin bergaul dengan mereka. Saya menyikapi masalah tersebut dengan menganggap bahwa memang didalam diri saya ada 2 suku yang berbeda, yaitu keturunan Tiong Hoa dan Jawa, jadi jika saya dipanggil “wong cino” oleh beberapa orang maka saya memang harus  berbesar hati menerimanya, karena dalam diri saya memang ada keturunan Tiong Hoa, selain itu saya juga mencoba bertoleransi dengan teman-teman yang beragama lain dengan memberi mereka waktu untuk beribadah, mengucapkan selamat Hari Raya kepada mereka di saat hari besar yang mereka rayakan, tidak makan didepan teman yang sedang berpuasa. Selain itu saya mengatasi  konflik tersebut dengan selalu mencoba membaur dan menyesuaikan diri dengan mereka, saya belajar menggunakan bahasa jawa yang baik, menolong teman tanpa memandang perbedaan. Dengan hal-hal yang saya lakukan itu maka teman-teman saya dapat menerima saya dengan baik tanpa menyinggung masalah ras lagi. Selain itu konflik yang pernah saya alami karena perkawinan amalgamasi dari orang tua saya adalah saat saya dekat dengan seorang pria keturunan Tiong Hoa, saat pria tersebut belum megetahui bahwa ibu saya adalah orang jawa asli, maka segalanya berjalan dengan baik, hingga akhirnya pria tersebut tahu bahwa saya juga keturunan orang jawa maka pria tersebut memutuskan hubungan dengan saya. Saya menganggap perbedaan budaya bukanlah menjadi pengahalang, bahkan perbedaan menjadi sesuatu yang dapat membuat hubungan antara seseorang dengan yang lain dapat saling melengkapi dan bukan sebagai penghalang. Setiap manusia pasti memiliki perbedaan, namun karena di Indonesia merupakan Negara majemuk yang terdiri dari berbagai ras, suku bangsa, agama, dll. Maka bagi para kaum minoritas yang keberadaannya sering dipandang sebelah mata. Di dalam diri saya telah saya tanamkan bahwa janganlah menjadi sesorang yang rendah diri, namun saya harus bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berbeda, membaur dengan semua orang, menghargai perbedaan yang ada, menghilangkan sikap fanatisme dan egoisme yang ada, sering berkumpul dengan orang-orang yang berbeda ras dan suku budaya supaya saya dapat memahami karakter mereka, menghilangkan segala prasangka buruk yang ada,  dapat saling menyesuaikan diri, saling percaya, mengedepankan persamaan-persamaan, selalu rendah hati, dan mengesampingkan perbedaan yang ada. Karena jika kita tidak pernah mau berkumpul dengan orang dari berbagai ras, suku, agama maka saat terjadi konflik kita akan semakin sulit mangatasinya karena kita mengalami shock culture. Dan bagi beberapa orang menganggap bahwa keturunan Tiong Hoa adalah orang mampu, maka ketimpangan sosial seperti ini yang membuat kecemburuan dan menimbulkan konflik, maka dari itu kerendahan hati sangat diperlukan, seperti tidak menggunakan pakaian yang mewah saat mengikuti arisan di kampung, mau datang keacara tirakatan, dll. Sehingga dengan sering bertemu dengan mereka maka saya dapat diterima karena setiap perbuatan yang saya lakukan dapat membuat mereka nyaman berada di dekat saya.
Referensi:
4.          http://www.anneahira.com/konflik-antar-budaya.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar